Hasil Putusan MK Soal Ambang Batas Umur Dinilai tidak Konsisten – Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki peran yang penting dalam menjaga konstitusionalitas hukum. Salah satu aspek krusial dalam pemilu yang sering menjadi subjek pengujian di MK adalah ketentuan mengenai ambang batas.
Baik ambang batas parlemen (parliamentary threshold) maupun ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold). Meskipun Putusan MK bersifat final dan mengikat, ada banyak sekali pihak mempertanyakan konsistensi MK dalam memutus perkara terkait ambang batas ini.
Latar Belakang Ambang Batas di Indonesia
Ambang batas parlemen dan ambang batas pencalonan presiden merupakan ketentuan yang diatur dalam undang-undang untuk menentukan minimal dukungan yang harus dicapai oleh partai politik atau koalisi partai politik. Ambang batas parlemen menentukan batas minimal perolehan suara yang harus dicapai oleh partai politik agar dapat memiliki wakil di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Sementara itu, ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) menentukan batas minimal dukungan kursi DPR yang harus dimiliki oleh partai politik atau koalisi partai untuk dapat mengajukan calon presiden. Di Indonesia, ketentuan mengenai ambang batas parlemen pertama kali diperkenalkan pada Pemilu 2009, di mana ambang batas tersebut ditetapkan sebesar 2,5%.
Pada Pemilu 2014, ambang batas parlemen dinaikkan menjadi 3,5%, dan pada Pemilu 2019, ambang batas ini dinaikkan menjadi 4%. Sementara itu, ambang batas pencalonan presiden diperkenalkan melalui Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, di mana partai politik atau koalisi partai politik harus memiliki minimal 20% kursi DPR.
Atau 25% suara sah nasional untuk dapat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Ketentuan mengenai ambang batas ini selalu menjadi subjek kontroversi dan perdebatan, baik di kalangan politisi, akademisi, maupun masyarakat luas.
Banyak yang berpendapat bahwa ketentuan ini tidak sejalan dengan prinsip demokrasi, karena membatasi partisipasi partai politik yang lebih kecil atau baru. Di sisi lain, pendukung ambang batas berargumen bahwa ketentuan ini diperlukan untuk memastikan stabilitas pemerintahan dan mengurangi fragmentasi politik.
Dinamika Hukum dan Putusan MK
Sejak diperkenalkannya ketentuan mengenai ambang batas, MK telah menerima sejumlah uji materi terkait pasal-pasal yang mengatur ambang batas parlemen dan pencalonan presiden. Namun, putusan-putusan yang dikeluarkan oleh MK dalam perkara ini kerap kali menimbulkan kontroversi, terutama terkait dengan konsistensinya.
Salah satu putusan MK yang sering diperdebatkan adalah putusan terkait ambang batas pencalonan presiden. Dalam beberapa kasus, MK menolak permohonan uji materi yang diajukan dengan alasan bahwa ketentuan mengenai ambang batas pencalonan presiden merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang merupakan wewenang legislator untuk menetapkannya.
Putusan ini dianggap oleh sebagian pihak sebagai bentuk pengesahan terhadap status quo yang menguntungkan partai-partai besar. Namun, di sisi lain, dalam beberapa perkara lain yang terkait dengan ambang batas parlemen, MK justru memberikan putusan yang berbeda.
Misalnya, dalam satu putusannya, MK menegaskan bahwa ambang batas parlemen tidak boleh diterapkan secara nasional untuk menghitung perolehan suara di daerah pemilihan, melainkan harus berdasarkan perhitungan di setiap daerah pemilihan. Putusan ini dinilai sebagai langkah yang lebih progresif dalam memberikan kesempatan yang lebih adil bagi partai-partai kecil.
Inkonsistensi Putusan MK
Inkonsistensi putusan MK dalam perkara terkait ambang batas menimbulkan tanda tanya di kalangan masyarakat dan pakar hukum. Beberapa pihak menilai MK seharusnya lebih konsisten dalam memutus perkara yang memiliki prinsip hukum yang sama. Misalnya, jika MK menolak uji materi terhadap ambang batas pencalonan presiden dengan alasan hal tersebut adalah kebijakan hukum terbuka.
Maka seharusnya prinsip yang sama diterapkan dalam perkara terkait ambang batas parlemen. Salah satu alasan yang sering dikemukakan oleh MK dalam membela putusannya adalah bahwa setiap perkara memiliki konteks yang berbeda, sehingga tidak selalu bisa diterapkan prinsip yang sama.
Namun, argumen yang satu ini kerap kali tidak memuaskan pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh putusan MK. Selain itu, mereka juga berpendapat bahwa MK seharusnya memiliki garis besar yang jelas dalam memutus perkara, terutama yang terkait dengan hak politik warga negara.
Dampak Putusan MK terhadap Sistem Politik
Putusan-putusan MK terkait ambang batas memiliki dampak yang signifikan terhadap sistem politik di Indonesia. Ketentuan ambang batas parlemen dan pencalonan presiden yang terus diperkuat melalui putusan MK dinilai oleh sebagian pihak telah memperkuat posisi partai-partai besar dan melemahkan partai-partai kecil serta calon independen.
Sebagai contoh, ambang batas parlemen yang tinggi membuat partai-partai kecil sulit untuk mendapatkan kursi di DPR, meskipun mereka memiliki dukungan yang signifikan di beberapa daerah. Hal ini pada gilirannya mempengaruhi representasi politik di DPR, di mana suara-suara dari kelompok minoritas atau daerah yang tidak diwakili oleh partai besar menjadi kurang terdengar.
Ambang batas pencalonan presiden yang tinggi juga membatasi jumlah calon yang dapat bersaing. Hal ini membuat pemilih hanya memiliki pilihan yang terbatas, yang pada gilirannya dapat menurunkan tingkat partisipasi politik dan kepercayaan masyarakat terhadap proses pemilu. Di sisi lain, pendukung ketentuan ambang batas berargumen hal ini diperlukan untuk menjaga stabilitas politik.
Mereka berpendapat tanpa ambang batas, akan terlalu banyak partai politik yang masuk ke DPR, yang dapat menyebabkan fragmentasi politik dan membuat pemerintahan sulit untuk bekerja efektif. Selain itu, mereka juga berargumen ambang batas pencalonan presiden diperlukan untuk memastikan bahwa calon presiden yang maju memiliki dukungan politik yang cukup kuat untuk memerintah.
Kritik Terhadap Putusan MK
Kritik terhadap putusan MK terkait ambang batas datang dari berbagai kalangan, mulai dari akademisi, aktivis politik, hingga partai politik kecil. Mereka menganggap putusan MK sering kali tidak konsisten dan lebih condong untuk mendukung status quo yang menguntungkan partai-partai besar. Salah satu kritik utama adalah putusan MK sering kali tidak sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang inklusif.
Ketentuan ambang batas yang terus dipertahankan dan diperkuat melalui putusan MK dinilai telah menciptakan hambatan bagi partai-partai kecil dan calon independen untuk berpartisipasi dalam pemilu. Hal ini bertentangan dengan semangat demokrasi yang seharusnya memberikan kesempatan yang sama bagi semua warga negara untuk berpartisipasi dalam proses politik.
Selain itu, kritik juga diarahkan pada argumen MK bahwa ketentuan ambang batas adalah kebijakan hukum terbuka. Kritikus berpendapat bahwa sebagai penjaga konstitusi, MK seharusnya lebih aktif dalam melindungi hak-hak politik warga negara, termasuk hak untuk memilih dan dipilih, daripada sekadar mengesahkan kebijakan yang diambil oleh legislator.
Prospek Ke Depan
Di tengah kritik yang terus bermunculan, MK perlu melakukan evaluasi terhadap putusan-putusan terkait ambang batas. Salah satu langkah yang bisa diambil adalah dengan mengadopsi pendekatan yang lebih konsisten dalam memutus perkara yang terkait dengan hak politik warga negara. MK perlu memastikan bahwa setiap putusan yang diambil didasarkan pada prinsip-prinsip hukum yang jelas dan konsisten.
Sehingga tidak menimbulkan kebingungan atau ketidakpercayaan di kalangan masyarakat. Selain itu, MK juga perlu lebih terbuka terhadap aspirasi dan pandangan dari berbagai pihak, termasuk partai politik kecil, akademisi, dan masyarakat sipil. Dengan mendengarkan suara-suara dari berbagai kalangan, MK dapat membuat putusan yang lebih adil dan sejalan dengan semangat demokrasi.
Di sisi lain, partai politik dan masyarakat juga perlu lebih aktif dalam mengawal Putusan MK dan memperjuangkan perubahan yang diperlukan. Jika merasa bahwa ketentuan ambang batas tidak adil atau tidak sesuai dengan prinsip demokrasi, mereka dapat mengajukan uji materi kembali ke MK atau mendorong perubahan undang-undang melalui jalur legislasi.