Sejarah PKB dan NU: Dari Kedekatan Ideologis Hingga Hubungan yang Mulai Memanas – Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Nahdlatul Ulama (NU) adalah dua entitas yang memiliki sejarah panjang dan hubungan yang sangat erat. PKB, sebagai partai politik, lahir dari rahim NU, dan sepanjang perjalanannya, kedua organisasi ini sering kali berada dalam satu barisan dalam memperjuangkan kepentingan umat Islam, terutama dari kalangan Nahdliyin.
Namun, belakangan ini, hubungan antara PKB dan NU terlihat mulai memanas, memunculkan tanda-tanda ‘korslet’ yang menarik perhatian publik. Artikel ini akan membahas sejarah panjang hubungan antara PKB dan NU, serta dinamika yang menyebabkan hubungan keduanya menjadi tegang.
Awal Mula: Lahirnya PKB dari Rahim NU
Pembentukan Nahdlatul Ulama
NU didirikan 31 Januari 1926 oleh ulama tradisionalis di bawah pimpinan Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari. Organisasi ini muncul sebagai respons terhadap tantangan modernisasi dan gerakan puritanisme dalam Islam yang berkembang di Indonesia. NU fokus pada pelestarian ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah yang bercorak tradisional, serta menjaga warisan intelektual dan budaya pesantren.
Sejak awal berdirinya, NU bukan hanya berfokus pada keagamaan, tetapi terlibat aktif dalam perjuangan sosial dan politik di Indonesia. Pada masa perjuangan kemerdekaan, NU ikut andil dalam pergerakan nasional, dan setelah kemerdekaan, organisasi ini memainkan peran penting dalam politik Indonesia.
Latar Belakang Pembentukan PKB
PKB didirikan pada 23 Juli 1998 di tengah gelombang reformasi yang melanda Indonesia pasca tumbangnya rezim Orde Baru. Berdirinya PKB tidak lepas dari dukungan dan keterlibatan para tokoh NU, yang melihat perlunya membentuk partai politik yang dapat memperjuangkan kepentingan Nahdliyin di panggung politik nasional.
Kyai Abdurrahman Wahid, yang lebih dikenal sebagai Gus Dur, merupakan salah satu tokoh sentral di balik pendirian PKB. Gus Dur, yang saat itu menjabat sebagai Ketua Umum PBNU, melihat bahwa NU perlu memiliki kendaraan politik sendiri setelah sekian lama berafiliasi dengan partai-partai lain, seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada era Orde Baru.
PKB sejak awal dibentuk sebagai partai yang mengusung nilai-nilai keagamaan dan kebangsaan yang moderat, sejalan dengan prinsip-prinsip NU. Partai ini menyerap banyak dukungan dari kalangan Nahdliyin, dan dalam waktu singkat, PKB berhasil menjadi salah satu kekuatan politik penting di Indonesia.
Dinamika Politik: Dari Kejayaan Bersama Hingga Awal Keretakan
Masa Kejayaan PKB dan NU
Pada Pemilu 1999, PKB langsung mencatatkan prestasi gemilang dengan meraih suara yang signifikan, menjadikannya partai terbesar ketiga di Indonesia setelah PDI-P dan Golkar. Dukungan kuat dari basis massa NU menjadi salah satu faktor utama kesuksesan ini. Hubungan antara PKB dan NU pada masa itu sangat harmonis, dengan Gus Dur yang memiliki pengaruh besar di kedua organisasi tersebut.
Gus Dur kemudian terpilih menjadi Presiden Indonesia ke-4, sebuah pencapaian yang mempertegas posisi PKB dan NU di panggung politik nasional. Meskipun masa kepemimpinan Gus Dur sebagai presiden berlangsung singkat dan penuh tantangan, hal ini menegaskan betapa kuatnya sinergi antara PKB dan NU pada masa itu.
Awal Keretakan Hubungan
Setelah Gus Dur lengser dari jabatan presiden, PKB mulai menghadapi tantangan internal dan eksternal. Pada tahun 2004, konflik internal di tubuh PKB memuncak dengan terjadinya perpecahan antara kubu pendukung Gus Dur dan kelompok lain yang dipimpin oleh Alwi Shihab dan Muhaimin Iskandar. Perpecahan ini menyebabkan terjadinya dualisme kepemimpinan di PKB, yang berlanjut hingga beberapa tahun berikutnya.
Di sisi lain, NU yang sebelumnya menjadi penopang utama PKB mulai menjauh dari politik praktis, terutama setelah wafatnya Gus Dur pada 2009. Banyak tokoh NU yang merasa bahwa NU sebaiknya fokus pada dakwah dan pendidikan, serta mengurangi keterlibatan dalam politik yang dianggap bisa merusak marwah organisasi.
Dinamika Terbaru: Hubungan yang Mulai Memanas
Kemenangan Politik dan Isu Kebijakan
Pada tahun-tahun terakhir, PKB di bawah kepemimpinan Muhaimin Iskandar (Cak Imin) berhasil memperkuat posisinya dalam pemerintahan, terutama setelah memenangkan posisi penting dalam kabinet Presiden Joko Widodo. Namun, kekuatan politik ini juga memunculkan friksi dengan NU, terutama terkait beberapa kebijakan dan langkah politik yang diambil oleh PKB.
Beberapa tokoh NU merasa bahwa PKB, terutama di bawah kepemimpinan Cak Imin, telah mengambil sikap yang lebih pragmatis dan berjarak dari nilai-nilai yang dulu diperjuangkan oleh Gus Dur. Di sisi lain, Cak Imin dan para pendukungnya berpendapat bahwa PKB perlu beradaptasi dengan realitas politik untuk tetap relevan dan berpengaruh.
Persaingan Kekuasaan dan Pengaruh
Selain isu kebijakan, persaingan kekuasaan dan pengaruh di kalangan elit PKB dan NU juga menjadi sumber ketegangan. Beberapa tokoh NU merasa bahwa PKB telah terlalu dominan dan terkadang kurang menghargai peran NU sebagai organisasi induk yang melahirkan partai tersebut.
Konflik ini diperparah oleh berbagai manuver politik yang dilakukan oleh masing-masing kubu, baik di PKB maupun NU. Misalnya, keputusan Cak Imin untuk mengusung dirinya sebagai calon presiden atau calon wakil presiden dalam pemilu menimbulkan reaksi beragam di kalangan NU. Beberapa pihak merasa bahwa langkah ini terlalu ambisius dan kurang memperhatikan kepentingan kolektif Nahdliyin.
Tantangan dan Peluang di Masa Depan
Tantangan untuk Menjaga Hubungan yang Harmonis
Tantangan utama bagi PKB dan NU ke depan adalah bagaimana menjaga hubungan yang harmonis di tengah dinamika politik yang semakin kompleks. PKB harus mampu menyeimbangkan antara kebutuhan untuk berpolitik secara pragmatis dengan menjaga nilai-nilai dan prinsip yang dipegang oleh NU.
Di sisi lain, NU juga perlu merumuskan kembali perannya dalam politik Indonesia. Apakah NU akan tetap menjadi organisasi sosial-keagamaan yang berfokus pada dakwah dan pendidikan, atau akan kembali aktif terlibat dalam politik praktis melalui PKB atau bahkan partai lain?
Peluang untuk Reunifikasi dan Penguatan Kembali
Meskipun hubungan antara PKB dan NU sedang mengalami ketegangan, masih ada peluang untuk reunifikasi dan penguatan kembali. Ini memerlukan upaya dialog yang intensif antara kedua belah pihak, dengan tujuan mencari titik temu yang bisa mempersatukan kembali visi dan misi keduanya.
Salah satu langkah yang bisa diambil adalah memperkuat komunikasi dan koordinasi antara elit PKB dan NU, sehingga tidak ada lagi kesalahpahaman atau konflik yang merugikan kedua belah pihak. Selain itu, PKB juga perlu lebih sensitif terhadap aspirasi dan kepentingan NU, terutama dalam pengambilan keputusan strategis yang berkaitan dengan kepentingan umat.
Kesimpulan
PKB dan NU memiliki sejarah panjang hubungan yang penuh dengan dinamika. Dari awalnya yang harmonis dan sinergis, hubungan ini kini menghadapi tantangan yang serius akibat perbedaan pandangan, persaingan kekuasaan, dan perubahan dalam konteks politik nasional.
Meskipun demikian, NU dan PKB tetap memiliki basis ideologis dan kultural yang kuat yang bisa menjadi modal untuk memperbaiki hubungan mereka. Kunci keberhasilan dalam menjaga hubungan ini adalah keterbukaan, komunikasi, dan komitmen untuk memperjuangkan kepentingan bersama.
Ke depan, tantangan terbesar bagi kedua organisasi ini adalah bagaimana mereka bisa tetap relevan dan berpengaruh dalam politik Indonesia, tanpa kehilangan jati diri dan nilai-nilai yang mereka anut. Dalam konteks ini, PKB dan NU perlu bekerja sama lebih erat, baik dalam merumuskan strategi politik maupun dalam mengimplementasikan program-program yang bermanfaat bagi umat.
Dalam menghadapi tantangan politik yang semakin kompleks, PKB dan NU harus mampu beradaptasi, namun tetap memegang teguh prinsip-prinsip yang selama ini menjadi landasan perjuangan mereka. Hanya dengan demikian, kedua entitas ini bisa terus memainkan peran penting dalam panggung politik nasional dan tetap menjadi kekuatan yang dihormati dan diandalkan oleh umat Islam di Indonesia.